Kamis, 17 Februari 2011

Belum Kelar Cairkan Kredit, Bank Mandiri Digugat

Belum Kelar Cairkan Kredit, Bank Mandiri Digugat

Kamis, 06 March 2008
Eksekusi kredit macet mestinya mempertimbangkan tenggat waktu jatuh tempo pembayaran yang tertuang dalam pernjanjian kredit.
 

Dianggap buru-buru memasukkan debitornya ke kategori macet, Bank Mandiri digugat  Rp 10,5 miliar. Bank plat merah itu dianggap belum merealisasikan keseluruhan pencairan kredit sebagaimana tertuang  dalam perjanjian kredit. Penggugatnya adalah PT Sebatin, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang agribisnis. 

Mandiri digugat Sebatin bersama-sama dengan Dirjen Kekayaan Negara (Depkeu) dan  Kejaksaan Agung. Depkeu  ikut digugat karena dikhawatirkan bakal melelang agunan Sebatin. Sedangkan Kejaksaan Agung digugat lantaran membebankan uang pengganti pada PT Sebatin atas dipidananya eks direktur Sebatin dalam perkara korupsi.

Kuasa hukum PT Sebatin, Rudi Sihombing, Rabu (5/3) mengatakan, sesuai perjanjian kredit termutakhir antara Sebatin dan Bank Mandiri tertanggal 21 Agustus 1998,  Bank Bumi Daya/BBD (yang kini merger menjadi Mandiri) telah berulangkali mencairkan kredit tidak  sesuai jadwal. Akibat melenceng dari rencana pencairan, timbul permasalahan dalam operasional perusahaan PT Sebatin yang berakibat tidak terpenuhinya pembayaran kredit oleh Sebatin.

Diceritakan dalam gugatan, sesuai perjanjian kredit investasi tertanggal 8 Agustus 1990 dengan BBD, disepakati  PT Sebatin mendapat fasilitas kredit plafond maksimal Rp32,3 miliar, yang terdiri dari kredit efektif Rp 23,78 miliar  dan kredit IDC (Interest During Construction) Rp 8,5 miliar. Ditentukan tenggat waktu pembayaran hingga  8 Agustus 2005 (15 tahun).

Sepanjang tahun 1990 hingga 1992 BBD telah mencairkan Rp2,95 milliar namun kemudian dihentikan sepihak dalam rentang waktu 6 tahun, yakni antara 1992 hingga 1998. Meski demikian, proyek perkebunan Sebatin jalan terus dengan mengkonversi dari semula tanaman kakao menjadi kelapa sawit dan karet. Hingga kemudian awal 1998, BBD meninjau ke lokasi proyek. Ujung-ujungnya, pada 21 Agustus 1998, perjanjian direvisi. Sebatin menyerahkan agunan berupa lahan Sawit seluas 5400 Ha di Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur.

Sebatin diberi kesempatan mengajukan reimbursement atas biaya untuk rentang 1993-1997. Dicarikanlah kembali kredit sebesar Rp10,335 miliar selama tahun 1998 hingga 2000. Sisa yang belum dicairkan dari plafon awal sebesar Rp10,5 miliar.

Pada 12 Desember 2001, tiba-tiba BBD yang sudah bergabung dalam Bank Mandiri memasukkan  kredit PT Sebatin dalam golongan debitur macet terhitung sejak 26 November 2001. Padahal, kata Rudi, sesuai adendum perjanjian kredit itu akan jatuh tempo pelunasan pada Februari 2006. Lagipula, madegnya pembayaran bunga oleh PT Sebatin pada Bank Mandiri juga bermuasal dari tidak lancarnya pencairan kredit BBD antara kurun 1990 hingga 2001.

Dalam gugatannya, Sebatin mengkhawatirkan adanya Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) tertanggal 5 Januari 2006 dari Bank Mandiri ke Kantor Lelang Negara yang berarti lahan sawitnya bisa sewaktu-waktu dilelang . Dalam provisinya, Sebatin meminta agar pelelangan ditangguhkan. Sebab, menurutnya telah terdapat cedera janji yang dilakukan Bank Mandiri dalam pencairan kredit.

Menurut Rudi, pertimbangan  Bank Mandiri yang semata mendasarkan lamanya pinjaman berupa tunggakan bunga tidaklah tepat. Ia mengutip pada Putusan MA No 2772.K/Pdt/1992. Putusan itu, lanjut Rudi, menentukan bahwa penyitaan jaminan lewat  sita eksekusi melalui pelelangan umum terhadap barang jaminan hutang oleh Kantor Lelang Negara harus mempertimbangkan tenggat waktu, jatuh tempo pelunasan pinjaman seperti yang ditentukan dalam perjanjian kreditnya.

Saat ini, ujar Rudi, Sebatin sedang dalam proses rehabilitasi pencarian investor baru untuk menyelesaikan kewajiban terhadap Bank Mandiri. Ia mengkhawatirkan adanya pihak-pihak yang berkomplot untuk mendapat keuntungan dari pelelangan atas aset Sebatin dengan menjual murah. Oleh karena itulah dalam provisi ia meminta dijatuhkan uang paksa (dwangsom) Rp75 juta perhari jika putusan provisi nantinya tidak diindahkan.

Dalam petitumnya, selain meminta pengadilan memutus telah terjadi wanprestasi yang dilakukan Bank Mandiri, Sebatin juga meminta agar SP3N beserta turunannya tidak sah sehingga sita eksekusi atas tanah agunan dapat diangkat.

Terpisah, Wakil Direktur Utama Bank Mandiri I Wayan Agus Mertayasa menyatakan hendak mempelajari perkembangan kasus tersebut. Saya akan konsultasi dulu dengan direktur yang menangani. Ini supaya tidak memberikan keterangan yang salah, tuturnya via telepon, Kamis (6/3).

Wayan memang tak banyak berkomentar atas kasus ini. Tapi secara umum, pasti ada persyaratan yang diperjanjikan. Jika ada nasabah debitur yang belum bayar, pasti bank berhak menagihnya.

Menyoal pelelangan aset agunan oleh Depkeu, Wayan menjabarkan beberapa proses. Jika aset debitur sudah dilimpahkan ke sana, berarti Depkeu berhak untuk menagih si debitur. Jika tidak berhasil menagihnya, Depkeu berhak melelang aset jaminan tersebut, sambungnya. Pelelangan tersebut tentunya, lanjut Wayan, diumumkan terlebih dahulu di media massa.

Sayangnya, Wayan belum tahu persis kantor advokat mana yang ditunjuk oleh Bank Mandiri untuk menangani kasus ini. 

Sumber : hukumonline.com

Madona Gugat Kejaksaan Agung

Rabu, 31 January 2007
Kejaksaan dianggap menjual dan mengalihkan asset yang pernah dijadikan barang bukti dalam perkara pidana.
Suatu perseoran terbatas bernama PT Madona Sewing Machine Manufacturers Limited (Madona) menggugat Bank Permata, Kejaksaan Agung, dan 35 pihak lain ke PN Jakarta Selatan. Para tergugat dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam pengalihan dan penjualan tanah ribuan hektare objek sengketa di Kelurahan Tanjung Selatan. Tadinya, tanah itu dijadikan jaminan kredit. Ketika perkara pidana mencuat, surat-surat tanah disita Kejaksaan Agung.

Lantaran menyangkut perkara perkreditan, jual beli, hak waris, dan pidana korupsi, akhirnya  perkara ini beranak pinak. Tidak aneh kalau tergugatnya begitu banyak, sampai 37 pihak.

Versi Madona, Kejaksaan Agung telah menyita uang Rp406 juta dari Lioe Nam Khiong (tergugat III). Uang tersebut merupakan �cicilan' pembayaran uang pengganti dari Lee Darmawan alias Lee Chin Kiat. Pada tahun 1992, Lee divonis 12 tahun penjara dalam perkara tindak pidana korupsi dan diwajibkan membayar uang pengganti Rp85 miliar.

Menurut pengacara Madona, setelah mendapatkan uang Rp406 juta tersebut, Kejaksaan mengalihkan lima pucuk surat tanah berupa Verponding Indonesia kepada Lioe Nam Khiong. Padahal, Verponding itu diklaim telah dibeli oleh Lee Darmawan pada dekade 1980-an dari keluarga pemilik asal tanah (Munawar bin Salbini). Lee membeli tanah atas kuasa dari direksi perseoran PT Madona. Dengan demikian, Verponding itu menjadi asset perseroan, bukan milik Lee pribadi. Pada dasarnya, tanah itu adalah milik PT Madona, tandas Rudy Sihombing, pengacara perseroan.

Pengalihan Verponding itulah yang dipersoalkan oleh Madona. Sebab, tidak ada hubungan hukum antara Lioe Nam Khiong dengan Lee Darmawan. Madona merujuk pada pasal 46 ayat (1) huruf a KUHAP: Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila (a) kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi.

Ketika perkara pidana korupsi Lee Darmawan sedang diproses, JPU �kala itu Chairuman Harahap�tidak menggunakan Verponding tersebut sebagai alat bukti.

Kejaksaan Agung menepis tuduhan telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). Dalam jawaban yang disampaikan ke PN Jakarta Selatan, Kejaksaan mengatakan gugatan Madona prematur. Kalaupun benar Kejaksaan mengalihkan barang bukti kepada pihak yang salah, seharusnya masuk kategori penggelapan (pasal 385 KUHP). Faktanya, hingga saat ini belum ada putusan pengadilan yang menyatakan Kejaksaan Agung melakukan perbuatan pidana dimaksud.

Meskipun Kejaksaan tidak menggunakannya sebagai alat bukti di persidangan, hal itu tidak dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum. Tidak ada satu ketentuan pun dalam hukum acara pidana yang mewajibkan Kejaksaan Agung menggunakan semua barang sitaan sebagai alat bukti dalam perkara pidana, tulis Kejaksaan dalam jawaban yang ditandatangani Yoseph Suardi Sabda dan Laswan.

Berdasarkan catatan hukumonline, gugatan Madona bukan langkah hukum pertama terhadap Kejaksaan Agung berkaitan dengan barang sitaan. Beberapa waktu lalu, Kejaksaan digugat ahli waris HM Sahal Ma'mum (almarhum) ke PN Jakarta Selatan. Melalui pengacaranya, almarhum menggugat Kejaksaan lantaran tidak mengembalikan barang bukti sitaan kepada ahli waris almarhum. Padahal, barang bukti disita dari Sahal Ma'mum semasa hidup. Sebelum perkara disidangkan, Sahal meninggal dunia, dan karenanya hak jaksa untuk menuntut gugur dengan sendirinya. Ternyata, barang bukti diserahkan jaksa kepada pihak lain.

Sumber:

Selamat datang

Selamat datang di blog saya.